Jakarta - Putusan pengadilan atas mantan Ketua KPK Antasari Azhar cs dalam kasus pembunuhan PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkaraen, harus dijadikan momentum untuk reformasi peradilan. Ke depan, diharapkan ada proses koreksi dalam proses penuntutan jika pada saat persidangan terungkap fakta-fakta kontroversial saat proses penyidikan.
Hal itu dikemukakan Ketua Yayayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Patra M Zen, saat berbincang dengan detikcom per telepon, Jumat (12/2/2010).
"Agar kewenangan jaksa untuk koreksi dikembalikan," kata Patra.
Menurut Patra, mekanisme koreksi misalnya diperlukan saat muncul pengakuan dari terdakwa Wiliardi Wizar bahwa dirinya ditekan saat penyidikan, agar merelakan berkasnya 'diatur' oleh penyidik. Ia menambahkan mekanisme koreksi ini pernah diatur dalam KUHP, namun sekarang tidak lagi diatur.
"Sekarang kalau berkas udah lengkap, ya sudah, maju terus," kata dia.
YLBHI juga mengapresiasi sikap hakim yang tidak memutus hukuman mati terhadap Antasari, Sigid Haryo Wibisono dan Wiliardi Wizar. Menurutnya, sudah saatnya Indonesia mendorong upaya penghapusan hukuman mati.
"Itu melanggar HAM," tegas Patra.
Khusus untuk vonis 18 tahun bagi Antasari, Patra menilai putusan hakim sudah cukup memperhatikan aspek keadilan korban dan terdakwa. Jika ada pihak yang belum puas atas putusan, katanya, yang bersangkutan bisa melakukan upaya hukum. (Sumber : detik.com)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar